Pasar Tradisional Batak adalah intitusi yang bercirikan adanya kegiatan interaksi antara pembeli dengan penjual yang didalamnya terapat kesepakatan mengenai jumlah harganya dan barangnya.
Dalam bahasa Batak, pasar dikenal dengan nama Onan. Onan berasal dari kata “on” dan “an” artinya ini dan itu. Sadia on, sadia an, berapa ini, berapa itu merupakan suatu kalimat tanya yang sering terucap dalam berbelanja di pasar. Versi lain menyebutkan bahwa kata Onan awalnya dikonstruksikan oleh para pelaku pasar karena pasar merupakan tempat bertemu (mardomu) orang yang dari sini (na sian ON) dan orang yang dari sana (na sian AN)
Dari beberapa sumber, Gobatak menemukan keterangan bahwa Onan sejatinya bukan sekedar tempatnya untuk berbelanja. Onan merupakan sebuah interaksi sosial yang sudah lama dan tidak bisa diciptakan secara tiba-tiba. Fungsi onan sebagai media interaksi sosial terlihat dalam penyampaian kabar huta atau kampung.
Berita adanya tokoh yang meninggal, ataupun berita lainnya akan sangat cepat tersampaikan di pasar. Karena Onan juga merupakan tempat pertemuan orang dari huta yang bertetangga. Onan umumnya hanya sekali dalam satu minggu. Ada juga yang dua kali, tetapi Onan kedua biasanya lebih kecil dari Onan pertama.
Pada jaman dahulu orang hanya punya kesempatan bertemu dengan orang lain secara teratur di Onan. Ada juga tempat pertemuan lain yaitu pesta adat, horja, tetapi itu tidak teratur hanya sesekali. Bagi orang Batak, Onan tidak hanya merupakan pusat perdagangan dan pertemuan biasa.
Menurut penulis Batak R. Jacob Lumbantobing, pada jaman dahulu Onan juga berfungsi sebagai tempat persiapan perang. Orang-orang yang sedang bermusuhan dengan huta lain, lebih dulu berkumpul di Onan, agar lebih mudah untuk serentak pergi perang. Walaupun perang itu terjadi antara dua huta yang mempunyai Onan yang sama, maka kelompok yang akan menyerang selalu berkumpul di Onan. Sedang yang merasa akan diserang tetap bersiap menanti di dalam benteng hutanya.
Onan juga mempunyai kekuatan hukum untuk mendamaikan orang. Satu hari sebelum hari Onan, pada hari Onan, dan sehari setelah hari Onan adalah hari-hari damai. Pada hari itu, tidak boleh terjadi pembunuhan, perkelahian, pencopetan terhadap orang yang akan pergi ke Onan. Juga, pantang melakukan tagihan piutang pada hari Onan. Hutang-piutang harus diselesaikan di luar hari Onan.
Dikisahkan juga bahwa ketika remaja, para muda-mudi Batak juga menempatkan Onan sebagai pasar mencari jodoh. Remaja ini bisa mencari pasangan yang berasal dari satu pekan (saonan) atau mencari pasangan dari Onan yang lain. Dan di kalangan muda-mudi ini dikenal ungkapan mar-onan tombis, dimana para muda-mudi saling bersenggolan di pasar yang sangat ramai. Lewan senggolan (tombis) inilah cinta bermula dan berlanjut pada jalinan asmara selanjutnya.
Onan, selain berfungsi sebagai pasar, perjumpaan antara penjual dan pembeli, mempertukarkan bahan-bahan komoditi dan hasil kerajinan seperti ulos dan tikar, dulunya juga merupakan tempat pertemuan para raja-raja huta. Raja-raja duduk di bawah pohon beringin, yang dinamakan parampangan, untuk membicarakan situasi huta dan sekitarnya, situasi keamanan, pertanian, maupun pengaduan atau keluhan-keluhan.
Bahkan dituliskan bahwa Nommensen sewaktu hendak mulai mengembangkan agama Kristen, menemui raja-raja di parampangan ini dan mempersembahkan nampuran (sirih) sebagai simbol persahabatan dan komunikasi. Beliau memakai hukum Onan demi pekerjaan zending.
Onan diselenggarakan oleh huta-huta yang menjadi anggotanya. Hari Onan diselenggarakan sekali seminggu, secara tetap dan berkelanjutan. Tertib dan aturan onan dijaga dengan baik dan diawasi oleh seorang panggomgom onan (pemerintah pasar) sebagai Raja ni Onan.
Sumber : Gobatak.com